logo tb
BeritaDaerahHukumMedanNasionalNewsSumatera UtaraTerkiniTNI / POLRI

BPI dan Polri Bahas MoU, Sinematografi dalam Bayang-Bayang Pengawasan

73
×

BPI dan Polri Bahas MoU, Sinematografi dalam Bayang-Bayang Pengawasan

Sebarkan artikel ini

Targetberita.co.id Medan – Sumatera Utara, Badan Perfilman Indonesia (BPI) tengah menjadi sorotan publik usai membahas draft Nota Kesepahaman (MoU) dengan Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Kerja sama yang diklaim bertujuan untuk peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) ini justru menuai polemik, khususnya soal diksi kontroversial yang tercantum dalam draft awal: “Sinergisitas Pengawasan Pembuatan, Pengedaran, dan Pertunjukan Film.”

Unggahan Instagram resmi BPI pada 21 April 2025 memperlihatkan deretan foto rapat pembahasan MoU dengan perwakilan Humas Polri. Sorotan publik tertuju pada foto terakhir yang menampilkan draft MoU tanpa nomor, tetapi sudah memuat judul yang memantik kontroversi.

Kata “pengawasan” menjadi kunci kegelisahan publik. Di tengah iklim sosial yang sedang memanas akibat pengesahan RUU TNI serta sederet kasus yang melibatkan aparat, publik semakin sensitif terhadap segala bentuk potensi pembatasan ruang berekspresi, terutama dalam ranah seni.

Salah satu suara keras datang dari sutradara Laskar Pelangi, Riri Riza, yang mempertanyakan intensi di balik pemilihan diksi tersebut.

Tak sedikit pula warganet yang membanjiri kolom komentar BPI dengan nada cemas dan sinis.

Mereka khawatir, kerja sama ini menjadi pintu masuk bagi bentuk baru sensor yang dikemas dalam jargon sinergi.

Menanggapi kegaduhan tersebut, BPI buru-buru memberikan klarifikasi melalui kolom komentar, menyatakan bahwa judul tersebut masih bersifat sementara dan belum disepakati kedua belah pihak.

Pihak BPI menjelaskan bahwa tujuan utama MoU adalah untuk memperluas akses informasi bagi para pelaku film, terutama yang membutuhkan data dari Polri untuk kepentingan riset dan produksi film bertema kepolisian.

Dalam keterangan itu, BPI juga menekankan bahwa Polri membuka ruang dialog bagi sineas yang selama ini kesulitan mendapat akses informasi.

Namun, klarifikasi itu tidak sepenuhnya meredakan keresahan. Akun Instagram @ridhonvgroho mempertanyakan inkonsistensi dalam manajemen komunikasi publik BPI: “Mengapa sebuah draft MoU bisa dipublikasikan dengan judul yang belum disepakati? Apakah ini bentuk kelalaian, atau ada agenda tersembunyi?” Komentar itu segera mendapat dukungan dari banyak pengguna lainnya yang merasa bahwa klarifikasi sepihak di kolom komentar tak cukup menjawab kekhawatiran mendasar: bagaimana batas antara pertukaran informasi dan pengawasan akan dijaga?

Ketua Umum BPI, Gunawan Paggaru, berusaha menjawab keresahan publik melalui wawancara dengan KBR Media pada 22 April 2025.

Ia menekankan bahwa MoU tersebut memiliki dua tujuan utama: pertama, untuk meningkatkan kapasitas dan pemanfaatan SDM, dan kedua, untuk memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki masing-masing institusi.

Gunawan menegaskan bahwa tidak ada niat untuk membatasi kebebasan berekspresi para pembuat film.

Ia menceritakan pengalamannya sendiri sebagai sineas yang kerap mengalami kesulitan mengakses informasi terkait institusi kepolisian.

“Ketika membuat film yang berkaitan dengan Polri, saya harus berputar-putar mencari data SOP, struktur organisasi, hingga prosedur standar yang seharusnya bisa diakses dengan mudah. Dengan MoU ini, kita ingin membuka jalan supaya sineas tidak lagi bergantung pada siapa yang sedang menjabat,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa MoU tersebut justru dimaksudkan untuk menciptakan ruang diskusi terbuka antara dua dunia yang selama ini berjalan terpisah: keamanan dan seni. “Kita butuh akses informasi, bukan intervensi. Dan yang saya pastikan, tidak akan ada ruang untuk pembatasan imajinasi maupun narasi kritis dalam film,” tegasnya.

Namun, janji tersebut belum cukup bagi banyak pihak. Masih banyak pertanyaan yang menggantung: bagaimana bentuk teknis pertukaran informasi itu? Apa batasannya? Siapa yang mengawasi agar kerja sama ini tidak menyimpang menjadi mekanisme kontrol terselubung?

Konteks nasional saat ini membuat kehati – hatian menjadi keniscayaan.

Pasca-pengesahan RUU TNI yang dianggap membuka ruang militerisme sipil, serta insiden demonstrasi di Malang yang berujung pada penyitaan alat medis dan bentrokan fisik, masyarakat sipil semakin waspada. Dalam atmosfer seperti ini, ketelitian dalam komunikasi publik menjadi sangat penting.

Sebuah kata dalam judul bisa menggeser persepsi dari kolaborasi menjadi kontrol, dari fasilitasi menjadi sensor.

Kekeliruan kecil dalam diksi dapat berdampak besar terhadap kepercayaan publik. Dunia film, yang selama ini menjadi ruang ekspresi paling jujur atas kondisi sosial dan politik, tidak boleh dihadapkan pada potensi tekanan institusional, sekecil apa pun itu.

Bila kerja sama ini ingin diterima dengan baik, maka BPI dan Polri wajib menyusun kesepakatan ini secara terbuka dan partisipatif, melibatkan komunitas film, akademisi dan masyarakat sipil.

Penting untuk dicatat bahwa keberlangsungan seni yang sehat bergantung pada kebebasan berkreasi yang tidak dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan pembatasan narasi.

MoU ini tidak boleh menjadi alat “pemutihan” atau legitimasi narasi tunggal tentang institusi negara

Langkah berikutnya? Jelas, transparansi penuh. BPI dan Polri harus secara resmi mempublikasikan isi final MoU setelah disepakati, lengkap dengan penjelasan teknis tentang bagaimana kerja sama ini akan dijalankan, apa saja batasannya, dan bagaimana pengawasan terhadap implementasinya dilakukan.

Jika tidak, kerja sama ini hanya akan menambah panjang daftar kecurigaan publik terhadap upaya sensor dalam wujud-wujud baru.

Sementara itu, dunia perfilman perlu terus bersuara lantang, agar ruang ekspresi tidak direduksi oleh tafsir samar sebuah Redaki kesepakatan yang tergesa-gesa.

(Roni P Purba)