logo tb
AcehBeritaDaerahNasionalNewsTerkiniTNI / POLRI

Di Tengah Guncangan Bencana Aceh, Perwira TNI Bungkam Kebenaran Di Tangan Jurnalis

23
×

Di Tengah Guncangan Bencana Aceh, Perwira TNI Bungkam Kebenaran Di Tangan Jurnalis

Sebarkan artikel ini

Targetberita.co.id  Aceh, Langit masih muram ketika Davi Abdullah, jurnalis Kompas TV Aceh, mengangkat kameranya di kawasan Lanud Sultan Iskandar Muda, Kamis, 11/12/2025. Bencana belum sepenuhnya reda.

Jalanan berlumpur, pengungsi masih bertahan di tenda darurat, dan publik menunggu kabar terbaru: siapa dibantu, apa yang sudah datang, dan apa yang masih kurang. Isu hilangnya logistik dan rampasan di berbagai wilayah jadi perhatian khusus.

Namun pagi itu, bukan hanya banjir yang menghadang Davi.

Di tengah liputan, ia dicegat. Alat kerjanya diambil. Rekaman yang sudah dikumpulkan—jejak visual dari sebuah peristiwa publik—dihapus. Peristiwa itu diduga dilakukan oleh seorang perwira TNI berpangkat kolonel, F.

Dalam hitungan menit, bukan hanya memori kamera yang lenyap. Kebenaran ikut dirampas.

Bukan Insiden Biasa

Di negeri demokrasi, peristiwa seperti ini tidak bisa diperlakukan sebagai “salah paham di lapangan”.

Bagi dunia pers, perampasan alat kerja dan penghapusan rekaman adalah bentuk paling nyata dari penghalangan kerja jurnalistik.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutnya dengan tegas: setiap upaya yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik adalah tindak pidana.

Ancaman hukumannya tidak main-main—penjara hingga dua tahun atau denda maksimal Rp. 500 juta.

Lebih dari itu, tindakan semacam ini juga bertabrakan langsung dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

Dalam bahasa sederhana: kamera wartawan bukan musuh negara.

Bencana dan Informasi: Dua Hal yang tak Terpisahkan

Situasi ini menjadi ironis karena terjadi di tengah bencana. Saat masyarakat Aceh membutuhkan informasi akurat—tentang distribusi logistik, kondisi pengungsi, dan respons negara—justru informasi itu yang diputus di lapangan.

Padahal, dalam banyak laporan lembaga pers dan catatan Dewan Pers, masa bencana adalah periode paling krusial bagi kerja jurnalistik. Informasi yang terbuka bukan hanya soal berita, tapi soal keselamatan warga.

Ketika kamera dibungkam, yang dirugikan bukan hanya jurnalis. Publik kehilangan mata dan telinga.

Ketika Seragam Bertemu Mikrofon

Hubungan antara aparat keamanan dan jurnalis sejatinya dibangun di atas kemitraan. Di banyak daerah, termasuk Aceh, wartawan kerap menjadi mitra strategis aparat—menyampaikan pesan publik, meluruskan informasi, dan meredam hoaks.

(Red)