Targetberita.co.id Maluku Tengah, Kejaksaan Negeri (Kejari) Maluku Tengah memastikan dua warga adat dari Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, akan segera menjalani proses persidangan atas dugaan pembakaran fasilitas tambang pasir merah milik PT Waragonda.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Maluku Tengah, Fitriah Tuahuns, mengungkapkan bahwa berkas perkara kedua tersangka, yakni SAT dan HM, telah dinyatakan lengkap (P21) pada 16 Juni 2025.
Setelah itu, Polres Maluku Tengah langsung menyerahkan kedua tersangka beserta barang bukti kepada jaksa.
“Setelah dinyatakan P21, hari ini kami menerima pelimpahan tersangka dan barang bukti dari kepolisian,” jelas Fitriah saat ditemui di ruang kerjanya pada Jumat (20/6/2025).
“Kami akan segera menyusun surat dakwaan dan dalam waktu dekat menyerahkannya ke Pengadilan Negeri.”
Saat ini, kedua tersangka masih dalam masa penahanan selama 21 hari sembari menunggu proses pelimpahan ke pengadilan.
Jaksa menyebut, proses hukum akan dilanjutkan tanpa hambatan.
SAT dijerat dengan Pasal 160 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP terkait ajakan atau hasutan melakukan tindak pidana, dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara. Sementara HM menghadapi dakwaan lebih berat, yakni Pasal 187 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 atau Pasal 170 ayat 1 KUHP, dengan ancaman hingga 12 tahun kurungan.
Sebelumnya, pihak Polres Maluku Tengah menangkap SAT dan HM pada 19 Februari 2025 setelah memeriksa sejumlah saksi.
Mereka dituduh terlibat dalam aksi pembakaran terhadap fasilitas tambang milik PT Waragonda yang beroperasi di wilayah adat mereka.
Aksi pembakaran ini dipicu oleh kemarahan warga atas tindakan perusakan segel adat ‘sasi’ yang telah dipasang di pintu masuk perusahaan.
Segel ‘sasi’ merupakan simbol larangan adat yang digunakan masyarakat untuk menghentikan kegiatan tertentu yang dianggap melanggar nilai-nilai budaya atau merugikan lingkungan.
Menurut keterangan Jima Samalehu, petugas keamanan PT Waragonda, sekitar 10–15 warga mendatangi lokasi tambang pada malam 15 Februari 2025. Mereka memprotes perusakan segel adat oleh pihak perusahaan.
Situasi memanas dan berujung pada pembakaran fasilitas.
“Warga datang mempertanyakan siapa yang merusak segel adat yang kami pasang. Setelah itu situasi memanas dan terjadi pembakaran,” ungkap Jima melalui keterangan tertulis, Senin (17/5).
Kasus ini menyoroti konflik antara masyarakat adat dan perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah yang memiliki nilai-nilai budaya dan hukum adat yang kuat.
Proses hukum terhadap kedua tersangka diharapkan memberi kejelasan, tidak hanya soal penegakan hukum negara, tapi juga soal penghormatan terhadap hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
(Red)