logo tb
BeritaDaerahKupangNasionalNewsNTTNusa Tenggara TimurTerkini

Konflik Geothermal Poco Leok: Cerminan Gagalnya Komunikasi Pemerintah

74
×

Konflik Geothermal Poco Leok: Cerminan Gagalnya Komunikasi Pemerintah

Sebarkan artikel ini

Targetberita.co.id Kupang – Nusa Tenggara Timur, Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah memicu konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat.

Akar masalahnya dinilai bersumber dari pola komunikasi pemerintah yang minim dialog dan partisipasi publik.

Penolakan dari 10 komunitas adat sebenarnya telah berlangsung sejak 2017.

Namun, konflik memanas setelah Bupati Manggarai mengeluarkan Surat Keputusan penetapan lokasi pada Desember 2022 tanpa persetujuan warga.

Menurut Direktur Ranaka Institute, Ferdinandus Jehalut, keputusan sepihak ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam berkomunikasi. Dari perspektif komunikasi politik, pendekatan yang digunakan pemerintah dalam menjalankan proyek geothermal Poco Leok adalah fenomena ruang gema informasi.

“Dalam ruang gema informasi, hanya narasi dominan dari negara dan korporasi yang didengar,” ujarnya dalam opininya di Pos Kupang pada Kamis (31/7/2025).

Dosen Komunikasi Politik Universitas Nusa Cendana Kupang ini menegaskan bahwa hak masyarakat dalam pengambilan keputusan, telah diabaikan oleh pemerintah daerah maupun pusat.

“Pada kasus Poco Leok, komunikasi diskursif itu hilang. Sejak awal pengambilan keputusan dilakukan secara sepihak tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat terdampak,” tulis Ferdinandus dalam opininya.

Alih-alih membuka ruang dialog, pemerintah justru menggunakan pendekatan represif. Puncaknya adalah bentrokan pada Oktober 2024 saat aparat memaksa masuk untuk melakukan pengukuran lahan.

Upaya Mediasi Komnas HAM & Perbaikan Komunikasi

Melihat konflik yang tak kunjung usai, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya turun tangan.

Lembaga ini menggelar pramediasi pada Selasa (29/7/2025) untuk mencari solusi damai.

Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, menegaskan posisi Komnas HAM sebagai mediator yang netral.

Tujuannya adalah mempertemukan berbagai pihak yang berselisih untuk mencapai kesepakatan damai.

Masyarakat adat sendiri memiliki kekhawatiran yang valid atas ancaman terhadap ruang hidup mereka. Ruang hidup ini meliputi lima unsur filosofis: rumah adat (gendang), kebun komunal (lingko), mata air (wae), ruang sosialisasi (natas labar), dan altar penyembahan (compang).

Temuan Komnas HAM menunjukkan bahwa instruksi percepatan Proyek Strategis Nasional diterjemahkan secara kaku dan sepihak oleh aparatur negara pemerintah daerah dan provinsi.

Hal ini menghambat terjadinya dialog yang bermakna dengan masyarakat terdampak.

Ferdinandus menyimpulkan, jalan keluar dari konflik ini adalah perubahan total dalam pola komunikasi.

“Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kelanjutan proyek geothermal Poco Leok sampai ruang deliberasi yang sehat, terbuka, dan bebas represi tercipta. Pemerintah juga harus memperbaiki pola komunikasinya serta memastikan jaminan hukum bagi masyarakat adat apabila risiko buruk proyek tersebut terjadi,” pungkasnya.

(Red)