Targetberita.co.id Gresik – Jawa Timur, Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah mencanangkan program pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW) di pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa.
Sayangnya banyak masyarakat Gresik yang belum mengetahui tujuan dan rencana pembangunan Giant Sea Wall.
Proyek tanggul raksasa itu dibangun mulai Banten sampai Gresik untuk melindungi dari ancaman kenaikan permukaan air laut hingga membendung terjadinya banjir pesisir (ROB).
Pembangunan mega proyek tersebut akan berlangsung secara bertahap dengan biaya yang sangat fantastis. Kabarnya, tahap awal diperkiraan membutuhkan anggaran mencapai Rp. 164 triliun.
“Kami belum tahu tentang rencana pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall dari Banten sampai Gresik,” kata Mu’alif, nelayan asal Pangkahkulon, Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, Rabu (5/3/2025).
Menurut Mu’alif, para nelayan di wilayah pesisir Gresik Utara masih awam mengenai proyek pembangunan Giant Sea Wall tersebut.
Hal itu salah satunya disebabkan karena belum adanya sosialisasi sama sekali dari pemerintah.
“Belum ada pemberitahuan apalagi sosialisasi. Sebab baru dengar ada pembangunan tanggul di laut,” terang dia.
Meski demikian, ia meyakini bahwa pembangunan tanggul laut raksasa akan membawa dampak signifikan bagi nelayan, terutama terhadap populasi ikan dan habitat laut, yang pada akhirnya mengurangi hasil tangkapan nelayan.
“Tentu dampaknya sangat signifikan bagi nelayan, seperti menabur jaring harus semakin ke tengah dan ombak semakin besar karena terbendung tanggul,” jelas Mu’alif.
Aktivis lingkungan dari Satuan Tugas Komite Nasional Pemanfaatan dan Pelestarian Lingkungan Hidup (Satgas Komnas PPLH) Kabupaten Gresik Mukhammad Junaidi menilai, pembangunan mega proyek Giant Sea Wall tersebut harus mengutamakan kepentingan masyarakat setempat, terutama para nelayan yang terdampak secara langsung.
“Karena bisa jadi proyek Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa di pantai utara Jawa tersebut justru menimbulkan gangguan terhadap akses nelayan ke area penangkapan ikan tradisional, termasuk di Kabupaten Gresik. Sehingga mata pencaharian mereka berkurang,” kata Junaidi.
Selain itu, lanjut Junaidi, pembangunan Giant Sea Wall juga berpotensi merusak ekosistem mangrove yang merupakan pertahanan alami dari abrasi, serta tempat perkembang biakan berbagai jenis hewan laut.
Sehingga dibutuhkan studi dampak lingkungan yang komprehensif dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
“Pentingnya mencari alternatif lain selain pembangunan Giant Sea Wall yang lebih ramah lingkungan, seperti penanaman pohon mangrove,” pungkasnya.
(Red)