Targetberita.co.id Jakarta, Frasa perlindungan hukum dalam pasal tersebut tidak dapat dipahami secara terpisah, melainkan harus ditafsirkan dalam konteks sistem hukum nasional yang berlaku, Selasa (7/10/2025), Dikutib hukumonline.com
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 terkait pengujian materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah yang diwakili Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan ketentuan Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir dan telah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan.
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya, mewakili Pemerintah menyampaikan dalil Pemohon yang menyebut Pasal 8 UU Pers menimbulkan ketidakpastian hukum tidak berdasar.
“Penjelasan Pasal 8 UU Pers telah secara jelas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Fifi di hadapan Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Pemerintah Sebut Pasal 8 UU Pers Tidak Multitafsir, Jamin Perlindungan Hukum bagi Wartawan.
Frasa perlindungan hukum dalam pasal tersebut tidak dapat dipahami secara terpisah, melainkan harus ditafsirkan dalam konteks sistem hukum nasional yang berlaku.
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya dalam sidang perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (6/10/2025).
LBH Pers: UU PDP Rawan Jerat Aktivis dan Jurnalis, Memperkuat Perlindungan Jurnalis Lewat Revisi UU ITE.
Menurutnya, frasa “perlindungan hukum” dalam pasal tersebut tidak dapat dipahami secara terpisah, melainkan harus ditafsirkan dalam konteks sistem hukum nasional yang berlaku. Ia menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 8 bersifat open norm atau norma terbuka, yang memberikan ruang fleksibilitas agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan kebutuhan lapangan.
“UU Pers secara nyata telah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan, khususnya dalam menjalankan fungsi, hak, dan kewajibannya. Dengan demikian, Pasal 8 UU Pers tidaklah multitafsir,” tegasnya.
Lebih lanjut, Fifi menegaskan semangat utama UU Pers adalah menjamin kemerdekaan pers. Karena itu, pelaksanaan ketentuan dalam UU Pers tidak dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, tetapi melalui peraturan yang dibentuk secara independen oleh organisasi-organisasi pers dengan fasilitasi Dewan Pers.
Frasa perlindungan hukum dalam pasal tersebut tidak dapat dipahami secara terpisah, melainkan harus ditafsirkan dalam konteks sistem hukum nasional yang berlaku.
Ia juga menambahkan, perlindungan hukum bagi wartawan tidak hanya bersumber dari UU Pers, melainkan juga diperkuat melalui berbagai instrumen hukum lainnya.
“Selain Peraturan dan Pedoman Dewan Pers, perlindungan bagi wartawan juga diatur melalui keputusan bersama Dewan Pers, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Komnas Perempuan,” jelasnya.
Menanggapi perbandingan yang diajukan Pemohon antara perlindungan hukum wartawan dan profesi lain seperti advokat atau jaksa.
Fifi menilai hal tersebut tidak tepat. Menurutnya, profesi wartawan memiliki karakter berbeda, yaitu terbuka, independen, dan merupakan bagian dari kebebasan pers.
“Perlindungan hukum bagi wartawan tidak dapat disamakan dengan imunitas profesi lain, karena perlindungan hukum bukan berarti kekebalan hukum,” kata Fifi.
Fifi juga menyinggung dalil mengenai potensi kriminalisasi wartawan melalui penggunaan pasal karet.
Ia menjelaskan, hal itu telah dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, antara lain dalam perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang tetap mempertahankan frasa “tanpa hak” dalam KUHP.
Mahkamah menilai frasa tersebut penting untuk melindungi kepentingan hukum yang sah, termasuk dalam konteks jurnalistik dan akademik.
Dengan demikian, Fifi menegaskan, Pemerintah berpandangan bahwa ketentuan Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir, karena jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, telah terdapat pranata hukum yang menjamin hak wartawan atas kepastian hukum, perlindungan diri, kehormatan, dan martabat dalam menjalankan profesinya.
“Dapat disimpulkan bahwa Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir sebagaimana dinyatakan Para Pemohon, karena telah terdapat pranata hukum yang menjamin hak atas perlindungan diri, kehormatan, dan martabat wartawan dalam menjalankan profesinya,” tegasnya.
Frasa perlindungan hukum dalam pasal tersebut tidak dapat dipahami secara terpisah, melainkan harus ditafsirkan dalam konteks sistem hukum nasional yang berlaku.
Adapun permohonan ini diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) yang diwakili oleh Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono.
Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 8 UU Pers beserta Penjelasannya, yang dinilai multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perlindungan bagi wartawan.
Pasal 8 UU Pers menyatakan bahwa wartawan memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya.
Namun, dalam Penjelasan pasal tersebut, perlindungan dimaknai sebagai jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat. Menurut Pemohon, rumusan ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai mekanisme perlindungan hukum bagi wartawan.
IWAKUM berpendapat Pasal 8 UU Pers tidak memberikan kejelasan perlindungan hukum seperti yang dimiliki profesi lain, misalnya advokat sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 UU Advokat atau jaksa dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan.
Kedua profesi tersebut secara tegas memperoleh perlindungan dari tuntutan hukum selama melaksanakan tugas dengan itikad baik.
Ketua Umum IWAKUM, Irfan Kamil, dalam permohonannya menyatakan Pasal 8 UU Pers semestinya memberikan jaminan perlindungan hukum yang kuat bagi wartawan, namun penjelasan pasal tersebut justru menimbulkan makna yang kabur dan meluas.
Dalam dokumen permohonan, IWAKUM juga menyoroti kasus kriminalisasi terhadap jurnalis Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto yang dipidana atas karya jurnalistiknya.
Menurut Pemohon, peristiwa tersebut mencerminkan adanya ketidakpastian hukum yang bersumber dari ketidakjelasan rumusan Pasal 8 UU Pers.
(Sonny H. Sayangbati)