logo tb
BeritaJakartaMetropolitanNasionalNewsPendidikanTerkini

Surat Terbuka untuk Rektor UI

254
×

Surat Terbuka untuk Rektor UI

Sebarkan artikel ini

Oleh Achmad Nur Hidayat, Alumni Universitas Indonesia Peduli Kemanusiaan dan Anti-Penjajahan dan Ketua BEM UI 2003-2004

Targetberita.co.id Jakarta, Surat  terbuka yang diberikan kepada Rektor UI kini menjadi sorotan publik, Minggu (24)8/2025).

Berikut surat terbuka yang diberikan kepada Rektor UI.

Dear Guru saya, Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU yang juga kebanggaan kami, Pak Rektor Universitas Indonesia!

Izin kan saya menulis surat terbuka dan pertanyaan *Ke Kampus Mana Kita Mengarahkan Kompas Moral UI?*

Apakah benar Universitas Indonesia, rumah intelektual dengan semboyan Veritas, Probitas, Iustitia, membuka podium orientasi pascasarjana bagi sosok yang di ruang publik kerap dikenal membela politik kekerasan Israel dan menolak tuduhan genosida di Palestina?

Poster resmi kegiatan PSAU Pascasarjana UI 2025 yang beredar dan foto orasi di Balairung yang ramai di media sosial menunjukkan nama Prof. Peter Berkowitz tampil sebagai pemberi orasi.

Patut saya ingatkan, mungkin Pak Rektor juga mengetahui bahwa Peter Berkowitz adalah Senior Fellow di Hoover Institution, Stanford; pernah menjabat Director of Policy Planning di Departemen Luar Negeri AS (2019–2021) dan sekretaris Commission on Unalienable Rights.

Peter Berkowitz konsisten menulis kolom yang membela hak Israel untuk membela diri dan menolak tuduhan “genosida” terhadap Israel di Gaza, dengan argumen kunci: unsur niat pemusnahan dalam definisi hukum genosida tidak terpenuhi; penilaian HAM kerap “mengabaikan keharusan militer” dan mendistorsikan hukum humaniter.

Silakan akses website peterberkowitz.com dalam artikel nya dia menulis bahwa dirinya adalah “Zionis” dan “pembela genosida Israel”. Secara substansi, posisinya justru menyatakan tidak ada genosida dalam kerangka hukum internasional, itulah yang ia bela.

Pertanyaan saya sederhana, Pak Rektor: ke arah mana kompas moral UI sedang diarahkan?

*Apakah Kebebasan Akademik Dilepaskan dari Tanggung Jawab Etis?*

Kampus adalah laboratorium kebebasan berpikir. Namun, kebebasan itu tidak pernah hampa nilai.

Konstitusi Republik Indonesia, yang di bagian Pembukaan menegaskan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, memberi pagar etis yang jelas.

Politik luar negeri kita yang bebas aktif juga konsisten menyuarakan dukungan kemanusiaan bagi rakyat Palestina.

Di saat bangsa ini menunjukkan empati yang nyata, dari doa di masjid hingga diplomasi di mimbar internasional, UI justru mempersilakan sosok yang di banyak tulisannya membingkai agresi sebagai “pembelaan diri” dan menolak kerangka genosida.

Itu bukan sekadar “kontroversi pembicara”; itu kontradiksi terhadap garis etis bangsa, dan ironisnya dilakukan di ruang akademik tertinggi di negeri ini.

Masalahnya bukan soal “boleh bicara atau tidak”, tetapi konteks dan konsekuensi.

Orientasi mahasiswa baru adalah panggung nilai, bukan sekadar kuliah umum acak.

Di situlah UI seharusnya menancapkan pilar karakter: kemanusiaan, anti-penjajahan, dan keberpihakan pada korban.

Mengundang figur yang secara konsisten menormalisasi kekuasaan koersif Israel (betapapun canggih argumen legalnya) mengirimkan pesan keliru: bahwa UI bersedia mengaburkan batas etis demi sensasi intelektual.

*Pintu Rumah dan Tamu yang Kita Pilih*

Bayangkan UI sebagai rumah besar. Kita tidak melarang siapa pun berbicara di alun-alun kota; orang datang dan pergi, perdebatan terjadi.

Namun ketika kita mengundang masuk ke ruang tamu rumah, apalagi di momen sakral penyambutan keluarga baru, pilihan tamu itu mencerminkan nilai tuan rumah.

UI bebas berdiskusi dengan siapa saja di forum kritis yang tepat, dengan kurasi dan counter-speech yang memadai.

Tetapi menjadikan panggung orientasi sebagai platform legitimasi, tanpa keseimbangan suara korban, sama seperti membiarkan tamu menyerahkan kartu nama di depan seluruh keluarga sembari mengatakan, “Beginilah standar nilai rumah Anda.”

Argumen Pertama: UI Bukan Ruang Hampa dari Konstitusi

Pembukaan UUD 1945 bukan slogan; ia kompas etis yang memandu institusi publik, termasuk universitas negeri. Ketika UI memberi panggung pada pandangan yang merelatifkan atau menormalisasi tindakan koersif terhadap populasi sipil, UI terlihat menggeser pijakan dari mandat konstitusional.

Kita tidak sedang menuntut sensor; kita menuntut konsistensi nilai, bahwa ruang yang diberi stempel UI harus sepadan dengan amanat konstitusi dan kebijakan resmi negara yang menolak penjajahan dalam bentuk apa pun.

Argumen Kedua: Kebijakan Pemerintah dan Sikap Presiden

Pemerintah Indonesia, termasuk pernyataan-pernyataan pimpinan nasional, berulang kali menegaskan dukungan kemanusiaan bagi Palestina, mengecam kekerasan terhadap warga sipil, dan mendorong solusi damai yang adil.

Semangat itu adalah garis panjang tradisi diplomasi kita. Ketika UI, sebagai institusi rujukan bangsa, justru memberi panggung yang secara substansi bertolak belakang dengan empati nasional, UI bukan hanya abai pada sensitivitas publik, melainkan juga tampak tidak selaras dengan kebijakan pemerintah yang menolak penjajahan.

Rektor UI, dalam kapasitas moral dan administratif, semestinya membaca arah angin kebijakan negeri ini, bukan melawannya.

Argumen Ketiga: Orientasi Bukan Forum “Debat Bebas” Biasa

Orientasi mahasiswa baru bukan seminar ad hoc. Ia adalah ritus inisiasi, peletakan batu pertama etika akademik. Karena itu, standar kurasi pembicara di orientasi harus lebih ketat daripada forum ilmiah biasa.

Bila UI ingin menghadirkan pandangan keras dan kontroversial tentang isu global, UI berkewajiban menghadirkan counter-voice yang setara pada panggung yang sama, memberi ruang narasi korban, dan menyisipkan kerangka hukum humaniter internasional secara jernih.

Apa yang terjadi justru menimbulkan kesan platforming tunggal yang mencederai rasa keadilan mahasiswa dan publik.

Argumen Keempat: Dampak pada Iklim Kampus dan Kredibilitas Akademik

Mahasiswa hari ini peka dan melek isu. Mereka mengikuti kabar Gaza dari gawai, menggalang donasi, dan menuntut kejelasan sikap moral. Ketika kampus seakan meremehkan sensitivitas itu, trust memudar. Lebih dari itu, kredibilitas akademik UI dipertaruhkan di mata mitra internasional yang menjunjung tinggi human rights due diligence.

Di banyak kampus dunia, komite etik menilai tidak hanya apa yang dikatakan, tetapi di panggung mana dan dalam konteks apa itu diberikan. UI butuh reputasi yang bukan saja unggul secara ilmiah, tetapi juga kokoh secara moral.

*Jalan Keluar Terbaik dan Mendesak*

Pertama, permintaan maaf terbuka dari Rektor UI.

Bukan untuk menutup diskusi, tetapi untuk mengakui bahwa pilihan undangan dalam momentum orientasi adalah error of judgment. Permintaan maaf adalah pengembalian kompas, bukan tanda kelemahan. Sertakan janji memperbaiki kurasi narasumber agar selaras dengan konstitusi, kebijakan negara, dan code of ethics UI.

Kedua, revisi pedoman kurasi pembicara. Susun kriteria yang eksplisit: (1) keselarasan nilai dengan mandat anti-penjajahan UUD 1945; (2) human rights risk assessment, apakah narasi pembicara berpotensi menormalkan kekerasan terhadap sipil; (3) kewajiban menghadirkan counter-speech setara jika tema menyentuh isu kemanusiaan akut.

Pedoman ini harus berlaku lebih ketat untuk momen kurikuler dan seremonial seperti orientasi.

Ketiga, forum penyeimbang yang bermartabat. UI perlu menggelar public teach-in mengenai hukum humaniter internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan sejarah kolonialisme modern, dengan menghadirkan akademisi, jurnalis, dokter lapangan, dan penyintas.

Beri panggung narasi korban. Tunjukkan bahwa UI mengerti perbedaan antara platforming yang memberi legitimasi dan scholarly debate yang memberi pencerahan.

Keempat, komitmen nyata pada kemanusiaan. Bentuk konsorsium lintas fakultas untuk riset kebijakan kemanusiaan, kemitraan dengan lembaga bantuan, dan program beasiswa bagi mahasiswa dari wilayah konflik. Jadikan empati sebagai kebijakan, bukan sekadar poster.

Kelima, pernyataan sikap resmi UI. Tegaskan bahwa UI berdiri pada garis anti-penjajahan dan pembelaan hak asasi manusia, sesuai konstitusi dan garis kebijakan negara. Pernyataan ini penting agar publik tidak menafsirkan panggung orientasi sebagai perubahan haluan moral UI.

*Menjaga Ketajaman Analogi: Kompas, Peta, dan Pelaut*

Seorang pelaut boleh memiliki peta paling detail, tetapi tanpa kompas ia akan tersesat. UI punya peta keilmuan yang luas, teknologi, sains, filsafat, kebijakan publik, namun kompasnya adalah nilai kemanusiaan.

Mengundang narasi yang menormalkan kekerasan negara tanpa keseimbangan korban sama seperti menukar kompas dengan jam pasir: sibuk menghitung waktu acara, lupa arah pelayaran.

Kita bisa berdebat tentang definisi hukum, tetapi nurani sederhana mengajarkan: penderitaan sipil tidak pernah pantas dijadikan “biaya samping” dari retorika keamanan.

*Seruan Khusus untuk Rektor UI*

Pak Rektor, Bapak memegang mandat bukan hanya administratif, tetapi moral. Keputusan memberi panggung dalam orientasi kepada figur yang menolak kerangka genosida dan membingkai perang sebagai sekadar “pembelaan diri”, di tengah luka kemanusiaan yang masih menganga, menyakiti rasa keadilan keluarga UI.

Itu tidak sejalan dengan amanat konstitusi tentang anti-penjajahan, dan bertentangan dengan semangat kebijakan pemerintah yang berpihak pada kemanusiaan Palestina.

Bapak perlu menyampaikan permintaan maaf publik, mengevaluasi proses kurasi, dan berkomitmen mendukung perjuangan anak manusia melawan penjajahan serta segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kembalikan Marwah Balairung Kami!

Balairung bukan aula kosong; ia adalah ruang simbolik tempat negara menitipkan akal budi.

Di tempat itu wisudawan bersumpah setia pada ilmu yang memuliakan martabat manusia.

Karena itu, kita berhak menuntut standar etik yang lebih tinggi daripada sekadar “kita undang semua agar adil.” Keadilan bukan menempatkan pelaku dan korban di kursi yang sama tanpa bingkai kemanusiaan; keadilan adalah keberanian memihak pada yang terluka sambil tetap membuka ruang ilmu yang jernih.

Saya, sebagai alumni Universitas Indonesia, menulis surat terbuka ini bukan untuk mempermalukan kampus, melainkan untuk menyelamatkan marwahnya.

UI harus lebih dari cerdas; UI harus adil. Dan keadilan, pada akhirnya, teruji bukan di ruang kuliah yang dingin, melainkan pada pilihan siapa yang kita beri panggung dan bagaimana kita membela yang tak bersuara.

Pak Rektor, mohon maafkan salah arah ini di hadapan publik, betulkan pedoman undangan pembicara, hadirkan forum penyeimbang yang berpihak pada korban, dan tegaskan dukungan UI pada perjuangan menentang penjajahan dan genosida.

Hanya dengan begitu kompas moral UI kembali menunjuk ke utara: Veritas, Probitas, Iustitia.

(Red)