Targetberita.co.id Bangkok, Malaysia resmi ditunjuk sebagai mediator dalam perundingan damai antara Kamboja dan Thailand yang akan digelar mulai Senin malam, 28 Juli 2025, menyusul eskalasi konflik bersenjata yang terjadi di wilayah perbatasan kedua negara.
Kesepakatan menunjuk Malaysia sebagai mediator diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Malaysia, Mohamad Hasan pada Minggu malam.
Pertempuran bersenjata di perbatasan Kamboja-Thailand sempat menimbulkan korban jiwa lebih dari 30 orang, termasuk warga sipil.
Konflik ini memaksa evakuasi lebih dari 200.000 jiwa dari daerah perbatasan di kedua negara yang terdampak langsung oleh bentrokan.
Perundingan bertujuan meredam ketegangan dan mencari jalan keluar damai atas perselisihan sengketa wilayah yang sudah berlangsung lama antara Kamboja dan Thailand, yang dipicu oleh klaim bertentangan terkait wilayah Segitiga Zamrud di Provinsi Preah Vihear (Kamboja) dan Provinsi Ubon Ratchathani (Thailand)
Motif utama konflik ini berakar pada sengketa wilayah yang sudah berlangsung sejak lama, termasuk ketidaksepakatan mengenai kedaulatan atas Candi Preah Vihea yang merupakan situs warisan dunia UNESCO dan sekitarnya.
Sengketa ini berakar pada perjanjian Prancis-Siam tahun 1907 dan diperkuat oleh putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 1962 yang memberi sebagian kepemilikan pada Kamboja, namun konflik berlanjut akibat persepsi nasionalis dan klaim tumpang tindih wilayah.
Sejak awal 2025, ketegangan terus meningkat ditandai dengan insiden-insiden seperti larangan tentara Thailand terhadap wisatawan Kamboja menyanyikan lagu kebangsaan di situs yang disengketakan dan berbagai bentrokan kecil, hingga eskalasi menjadi kontak senjata pada akhir Juli ini.
Menurut keterangan Juru Bicara Militer Kamboja, Mao Phalla, pasukan Thailand yang memulai penembakan pada posisi pertahanan Kamboja.
Sebaliknya, Juru Bicara Militer Thailand, Winthai Suvaree, mengklaim bahwa tentara Thailand telah berusaha meminta pasukan Kamboja mundur sebelum terjadi kontak senjata
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim yang juga Ketua Forum Regional ASEAN telah mengusulkan gencatan senjata dan merancang perundingan damai di Malaysia sebagai upaya menyelesaikan konflik tersebut secara diplomatik.
Dalam keterangan resmi, Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan menyatakan bahwa pemimpin kedua negara, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet dan Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai, telah memberikan kepercayaan penuh kepada Malaysia sebagai mediator dan bersepakat bahwa perundingan harus diupayakan tanpa melibatkan negara lain.
Langkah mediasi Malaysia mendapat dukungan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang menyampaikan harapan agar kedua negara segera mencapai gencatan senjata dan penyelesaian damai untuk mencegah konflik berkepanjangan yang dapat berdampak pada stabilitas regional.
Indonesia juga menyatakan kesiapan membantu Malaysia sebagai mediator mengingat pengalaman sebelumnya pada konflik tahun 2011 antara Kamboja dan Thailand.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menekankan pentingnya kerja sama ASEAN dalam mengupayakan penyelesaian damai konflik ini berdasarkan prinsip Konvensi ASEAN tentang Penyelesaian Sengketa.
Menurut Akademisi bidang Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Budi Santoso, penyelesaian konflik harus tetap berpedoman pada norma hukum internasional seperti Piagam PBB, Konvensi Jenewa, dan prinsip non-agresi antarnegara.
Konvensi internasional tersebut mengatur bahwa konflik bersenjata antarnegara harus dihindari dan apabila terjadi, harus segera dihentikan dengan gencatan senjata dan dialog terstruktur.
Asas kedaulatan negara dan integritas wilayah juga menjadi prinsip penting yang dihormati dalam penyelesaian sengketa perbatasan.
Budi juga menambahkan bahwa peran ASEAN sebagai organisasi regional sangat strategis dalam mediasi konflik ini untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan kawasan Asia Tenggara serta mencegah eskalasi konflik yang dapat melibatkan negara-negara lain.
Konflik yang sedang berlangsung ini tidak hanya berdampak pada keamanan dan hubungan bilateral kedua negara, tetapi juga menimbulkan krisis kemanusiaan dengan adanya pengungsian massal dan gangguan terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan.
Selama konflik, kedua pihak saling menuduh sebagai pihak yang memulai kekerasan bersenjata, dengan klaim provokasi dan pelanggaran wilayah oleh masing-masing seperti yang diungkapkan oleh pejabat militer Kamboja dan Thailand.
Dalam perspektif hukum internasional, sengketa wilayah seperti ini idealnya diselesaikan melalui diplomasi, arbitrase, atau pengadilan internasional, bukan dengan kekerasan.
Mahkamah Internasional (ICJ) pernah memutuskan masalah ini sebagian tahun 1962, namun penolakan dari pihak tertentu menyebabkan sengketa ini berlarut-larut.
Kamboja, melalui Perdana Menteri Hun Manet, menyatakan bahwa keinginannya adalah penyelesaian damai dan mengajukan isu ini kembali ke ICJ jika upaya diplomasi bilateral tidak membuahkan hasil.
Sementara itu, Thailand menyatakan menolak yurisdiksi ICJ atas sengketa ini dan lebih memilih penyelesaian bilateral, yang menyebabkan kebuntuan sistemik dalam negosiasi.
Pihak internasional, termasuk Jepang, Laos, Selandia Baru, dan Filipina, menyuarakan dukungan mereka agar kedua negara menahan diri, mendorong dialog, dan menyelesaikan perbedaan tanpa kekerasan, sesuai norma-norma hukum internasional.
Malaysia sebagai mediator berkomitmen mendorong proses perundingan yang transparan, inklusif, dan bertanggung jawab dengan mengikutsertakan pengamat independen demi memastikan perdamaian berkelanjutan
Pembicaraan damai yang akan dimulai di Kuala Lumpur diharapkan mampu membuka jalur komunikasi yang konstruktif dan menetapkan mekanisme gencatan senjata serta pengaturan zona demiliterisasi di wilayah sengketa.
(Red)