Targetberita.co.id Jakarta, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, memberikan sorotan tajam terhadap sistem pendidikan calon advokat di Indonesia yang dinilai sangat jauh dari standar pendidikan penegak hukum lainnya seperti hakim, jaksa dan polisi.
Dalam sebuah podcast pada Kamis (12/6/ 2025), Prof. Eddy,sapaan akrabnya, menyebut bahwa pendidikan calon advokat saat ini justru menjadi “yang paling buruk” di antara profesi hukum di tanah air.
Ia membandingkan dengan proses pendidikan aparat penegak hukum lain yang jauh lebih lama dan terstruktur, seperti calon hakim yang wajib menempuh pendidikan selama dua tahun dan calon polisi yang bersekolah di Akademi Kepolisian (Akpol) selama empat tahun.di lansir hukum online. com
“Jangan dibandingkan dengan negara lain, kita bandingkan saja dengan aparat penegak hukum kita sendiri,” ujar Prof Eddy.
Sementara itu, calon advokat hanya menjalani Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) selama sekitar enam minggu, kemudian langsung mengikuti ujian tanpa adanya standar pendidikan yang setara.
Proses magang yang seharusnya minimal dua tahun pun kerap hanya sekadar formalitas, bahkan ada yang hanya dalam hitungan hari karena magang di tempat kerabat atau kenalan.
Prof Eddy menegaskan, hal ini berdampak pada kualitas advokat yang dihasilkan, karena mereka belum melalui pendidikan dan pengalaman lapangan yang memadai sebelum terjun langsung ke praktik hukum.
Menanggapi hal ini, Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, menilai perbandingan tersebut kurang tepat karena ada perbedaan dukungan negara yang signifikan antara profesi advokat dan aparat penegak hukum lainnya.
Pendidikan dan ujian bagi hakim, jaksa, dan polisi sepenuhnya dibiayai negara, termasuk fasilitas dan tenaga pengajar.
“Sementara pendidikan advokat dijalankan mandiri oleh organisasi advokat dengan keterbatasan dana dan fasilitas,” jelas Tjoetjoe.
Menurutnya, tanpa adanya keterlibatan negara dalam pembiayaan, fasilitas, dan pengaturan standar pendidikan advokat, mustahil kualitas pendidikan advokat bisa sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya.
Untuk itu, ia menyerukan agar negara hadir lebih aktif dalam dunia advokat melalui penyediaan fasilitas, penyusunan kurikulum yang terstandar, dan pembentukan lembaga nasional pengatur pendidikan advokat seperti Dewan Advokat Nasional atau Komisi Advokat Nasional.
Tjoetjoe juga menyoroti sosok politisi sekaligus advokat, Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra, yang dinilai memiliki konsen besar terhadap perbaikan dunia advokat.
Ia berharap Dasco dapat menjadi jembatan antara organisasi advokat dan pemerintah untuk merancang sistem keorganisasian advokat yang lebih baik dan menyikapi rencana perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Banyak tokoh advokat siap memberikan masukan untuk memperbaiki sistem pengaturan dunia advokat ke depan,” katanya.
Dengan sinergi antara pemerintah dan organisasi advokat, diharapkan mutu pendidikan dan kualitas advokat di Indonesia bisa meningkat sehingga sejajar dengan profesi hukum lain demi penegakan hukum yang lebih baik dan profesional.
(Farid Hidayat)