Target Berita.co.id Tenggarong, Antrean kendaraan bermotor, baik mobil hingga kendaraan roda dua di sejumlah titik SPBU, menjadi pemandangan biasa di 10 kabupaten dan kota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), khususnya Balikpapan, Samarinda dan Kutai Kartanegara (Kukar).
Pemerintah kota (pemkot) Samarinda seharusnya mengeluarkan Surat Edaran pembatasan jam pembelian BBm jenis Pertalite.
Sementara itu di Kukar, antrean sejumlah SPBU berimbas pada kenaikan harga Pertalite eceran di toko kelontong. Yang awalnya Rp 12 ribu per botol menjadi Rp 13 ribu per botol. Begitupun harga Pertamax yang ikut-ikutan naik dari Rp 15 ribu menjadi Rp 16 ribu per botolnya.
Saat dihubungi, Area Manager Communication & CSR Pertamina Regional Kalimantan, Arya Yusa D, mengatakan sejumlah faktor yang menyebabkan Pertalite seolah-olah sulit didapatkan di SPBU. Hingga sebabkan antrean yang mengular Yakni, adanya disparitas harga antara BBM jenis Pertalite (BBM subsidi) dengan Pertamax. Di mana Pertalite dipatok Rp 10 ribu per liternya, sementara Pertamax dipatok Rp 13.950 per liternya. Ada jarak harga hampir menyentuh angka Rp 4 ribu per liternya. Sehingga masyarakat banyak memilih untuk beralih ke Pertalite yang lebih murah ketimbang Pertamax.
Dilansir dari media kaltim.com, Minimnya jumlah SPBU yang ada di Kaltim, turut dianggap menjadi “biang kerok” Pertalite yang tiba-tiba sulit didapatkan. Seperti di Tenggarong hanya ada 5 SPBU yang tersedia. 3 SPBU di seputaran Kelurahan Timbau, 1 SPBU di Kelurahan Mangkurawang dan 1 SPBU di Kelurahan Loa Tebu.
Berdasarkan data yang didapat, dari total kuota Kaltim sebanyak 689 ribu Kiloliter (KL) Pertalite, Kukar mendapatkan 136.429 KL Pertalite. Dan masih ada kuota 10 persen di tahun 2023 yang belum tersalurkan.
Menurut arya, karena kurangnya pemahaman tentang SPBU sehingga menyebabkan kurangnya ke tertarikan investor dalam menanamkan modal untuk membangun SPBU, ujar Arya, Rabu (13/12/2023).
Maraknya pengetap yang menjual kembali Pertalite secara eceran dengan mengambil keuntungan dari harga SPBU resmi sehingga harga eceran yang dijual ke masyarakat semakin mahal.
Arya mengatakan, banyak pengetap yang kini beralih menggunakan mobil pribadi untuk menjalankan aksinya, alhasil pihak SPBU sulit untuk mendeteksi para pengetap, ujarnya.
Dengan menggunakan kendaraan pribadi dan tidak menggunakan jeriken, jadi gak bisa terdeteksi, lanjutnya.
Fenomena menjamurnya penjual Pertalite eceran pun tidak bisa ditindaklanjuti oleh Pertamina. Karena dikatakan Arya, menjadi wewenang dari pemerintah daerah (pemda) dan para penegak hukum. Di mana penjualan secara eceran selain tidak dibenarkan, juga merupakan tindak lanjut dari aktivitas pengetap.
“Pertamini dan eceran itu wewenangnya ke pemda dan penegak hukum untuk menindaknya. Karena Pertamini bukan rantai bisnis dari Pertamina,” tutup Arya.
(M. Sidiq)